![]() |
Ilustrasi HELP (foto: Liputan6.com) |
KomnasAnak.com,
Jepara - Berapa kasus perundungan (bullying)
yang sudah viral sepanjang tahun ini? 4 atau 5? Tanpa kita sadari berita di
televisi dan sosial media banyak dihiasi pemberitaan perundungan. Padahal ini
baru bulan kedua dari tahun 2020.
Namun, apa yang terlihat sangat sedikit untuk menggambarkan
banyaknya kasus perundungan di Indonesia. Perundungan layaknya fenomena gunung
es. Gundukan es di permukaan air selalu jauh lebih kecil dibanding bagian di
bawah air. Artinya kasus perundungan yang menjadi viral atau dilaporkan jauh
lebih sedikit dari kasus yang tertutup dan tidak dilaporkan.
Beberapa berakhir dengan campur tangan pemerintah sampai
tuntas, sedangkan beberapa berakhir dengan pernyataan “hanya bercanda”.
Sebut saja kasus perundungan yang mengakibatkan jari korban
harus diamputasi. Kasus terselidiki sampai tuntas bahkan kepala sekolah sampai
dicopot. Atau perundungan di SMP Muhammadiyah Purworejo, yang memancing Ganjar
Pranowo untuk turun tangan langsung.
Sedangkan untuk kasus “hanya bercanda” terjadi pada ‘DS’,
siswa SMP di Tasikmalaya yang ditemukan tewas di gorong-gorong sekolah.
Sayangnya, Dinas Pendidikan tidak menganggap kematian siswa yang sering
dipanggil bau lontong ini sebagai
tindak bullying.
Dilansir dari Republika.co.id, KPAI (Komisi Perlindungan
Anak Indonesia) sendiri mencatat adanya kenaikan jumlah kekerasan pada anak
setiap tahun. Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra
Putra, mengatakan sepanjang 2011 hingga 2019, KPAI mencatat ada 37.381
pengaduan mengenai anak. Sedang kasus perundungan anak, di media sosial dan
pendidikan, laporannya berjumlah 2.473.
Menurut Jastra, adanya kenaikan jumlah perundungan ini
menandakan adanya gangguan perilaku yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan
dan konsentrasi anak. Seringkali, anak bersikap reaktif dan agresif karena
lemahnya mental anak. Lingkungan sosial masyarakat yang syarat akan kekerasan
mampu memicu anak untuk meniru. Selain itu, tontonan kekerasan, dampak negatif
ponsel, dan perundungan di media sosial juga mampu memancing sikap agresif
anak.
Ini menyebabkan perundungan jadi seperti wabah virus. Ketika
anak melihat kekerasan baik di media sosial atau di lingkungan sekitar,
kecenderungan untuk meniru sangat tinggi. Sehingga resiko anak melakukan tindak
agresif semakin tinggi.
Sayangnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengaku
belum punya terobosan baru untuk mencegah kekerasan dan perundungan di
lingkungan pendidikan. Hal ini diakui Kemendikbud ketika merespon kasus perundungan
di SMP Malang.
“Kasus-kasus yang
terjadi, kan sudah ditangani. (untuk antisipasi) saya belum come up dengan ide
baru,” kata Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah, Haris
Iskandar, saat diwawancari CNN Indonesia pada Kamis, 6 Februari 2020.
Haris menyatakan jika sebenarnya tindakan pencegahan dan
penanggulangan perundungan sudah diatur dalam Permendikbud No. 82 tahun 2015
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan. Meskipun begitu,
semakin banyaknya kasus perundungan menjadi tanda jika Permendikbud tersebut
tidak berjalan optimal.
Sudah seharusnya pengawasan orang tua dan guru lebih
dioptimalkan sejalan dengan masifnya arus digitalisasi. Selalu waspada dengan
tontonan anak dan lingkungan bermainnya. Dengan banyaknya tontonan kekerasan
(film dan sinetron) serta Game
bernuansa kekerasan menjadi alasan orang tua dan guru untuk slalu memperhatikan
lingkungan virtual anak. Beri pengertian jika tontonan kekerasan tersebut hanya
diciptakan untuk dunia virtual, dan bukan untuk ditiru di dunia nyata.
Mendidik anak tanpa kekerasan sangat berguna untuk mencegah
perilaku agresif yang mungkin timbul. Ingatlah jika anak sangat mudah untuk
meniru. Jika dari keluarga sudah diajarkan untuk berperilaku kasar, besar
kemungkinan anak akan menerapkannya di lingkungan luar rumah.
(Penulis: Melina
Nurul Khofifah)
0 Komentar