KomnasAnak.com, NASIONAL - Salah satu isu pembangunan masyarakat yang urgent untuk diselesaikan adalah
perkawinan anak. Adanya perkawinan menghambat pendidikan anak. Padahal
pendidikan merupakan kunci membangun sumber daya manusia unggul.
Intervensi pemerintah dalam mengatasi masalah ini, khususnya
bagi daerah di Pulau Jawa sangat diperlukan. Pemerintah dapat menekan hampir 50
persen angka kasus perkawinan anak secara nasional bila masalah perkawinan anak
di Pulau Jawa berhasil diselesaikan.
“Meskipun prevalensi tertinggi diduduki Provinsi Sulawesi
Barat, namun secara absolut ranking tertinggi perkawinan usia anak di Indonesia
ditempati Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah,” ujar Child
Protection Officer UNICEF Indonesia, Derry Fahrizal Ulum saat diskusi webinar
Media dan Perlindungan Anak bertajuk “Pandemi COVID-19 dan Pencegahan
Perkawinan Usia Anak di Jawa Timur” Rabu (20/5). Selain fokus di Jawa,
provinsi-provinsi luar jawa dengan prevalensi perkawinan anak tinggi tetap
perlu diperhatikan.
Derry menambahkan, di Jawa Timur sebanyak 12,71 persen anak
perempuan usia 20-24 tahun menikag sebelum usia 18 tahun. Dia juga menambahkan
secara nasional, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (susenas) 2008-2018
menyebutkan penurunan perkawinan di bawah 18 dan 15 tahun cenderung lambat
dalam 10 tahun ini.
Berdasarkan proyeksi Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS)
tahun 2015, diperkirakan perkawinan anak perempuan mencapai 1.220.900.
Terkait masa pandemi COVID-19, Derry menyebut berdasarkan
rilis dari lembaga di PBB menyebutkan saat ini masih terlalu dini untuk
mengaitkan naiknya angka perkawinan usia anak dengan terjadinya pandemi
COVID-19.
“Namun jika dalam jangka panjang akan mungkin ini
berkorelasi. Karena ini berhubungan dengan masalah ekonomi dan terhentinya
kegiatan di masyarakat,” tambah Derry.
Dari sisi kesehatan reproduksi, penanggungjawab Program
Geliat Universitas Airlangga Surabaya, Dr Nyoman Anita Damayanti, drg. M. S,
menyatakan pengetahuan masalah kesehatan reproduksi sangat penting bagi
perempuan.
“Dari hasil penelitian yang kami lakukan sejak 2015 hingga
saat iini diketahui bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditempuh seorang perempuan,
maka mereka cenderung untuk tidak menikah di usia dini. Namun demikiran,
tingginya pendidikan seorang perempuan, tidak menjamin pengetahuan mereka
seputar kesehatan reproduksi juga tinggi. Ini yang harus diwaspadai,” ujar
Nyoman Anita Damayanti yang juga sebagai pengajar di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Unair Surabaya tersebut.
Menurutnnya, banyak perempuan tidak mengetahui risiko
kehamilan di usia muda itu seperti apa, meskipun pendidikan mereka tinggi.
Dia juga menyebutkan, angka kematian ibu hamil di masa
pandemi sampai bulan April 2020 telah mencapai 180 kasus. Menurutnya angka ini
sudah cukup tinggi.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian di masa pandemi ini
adalah adanya 590 ribu perempuan di Jawa Timur yang diperkirakan akan
melahirkan di saat pandemi.
“Mereka harus memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan untuk
menjamin keselamatan ibu dan bayi, padahal dalam kondisi saat ini banyak pihak
memilih untuk tidak mengunjungi fasilitas kesehatan dengan alasan memutus
penularan COVID. Ini yang perlu diwaspadai ancaman kematian ibu haml akibat
tidak mengunjungi fasilitas kesehatan,” jelas Nyoman Damayanti.
Sementara itu Presidium Jaringan AKSI, Rani Hastari
menyebutkan, terkait upaya menekan angka perkawinan usia anak, ia menyebut
kebijakan-kebijakan di daerah yang alih-alih melindungi kaum perempuan ternyata
justru membuat diskriminasi.
“Alih-alihh melindungi anak, ternyata beberapa aturan justru
mendiskriminasi perempuan. Oleh karena itu, justru perlu mendorng pemenuhan
hak, tumbuh kembang, dan potensi anak, khususnya anak permepuan agar terhindar
dari perkawinan anak,” ujar Rani.
(Editor: Melina Nurul Khofifah)
0 Komentar