KomnasAnak.com, NASIONAL - Penyelidikan kasus NF, remaja 15 tahun yang diduga
menghilangkan nyawa anak 5 tahun dan belakangan diketahui merupakan korban pelecehan
seksual hingga hamil terus dilakukan. Lembaga perlindungan anak memandang
perlunya perspektif korban dalam menangani kasus ini.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(Kemen PPPA) pun memastikan akan terus memantau perkembangan dan memastikan
proses hukum NF berlangsung sesuai UU no. 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar menyatakan
telah mengunjungi tempat rehabilitasi sosial milik Kementerian Sosial.
Kunjungan pada 17 Mei tersebut untuk memastikan kesiapan NF menghadapi
persidangan yang akan dihadapi.
“Proses hukum anak pelaku harus tetap berjalan sesuai dengan
Undang-Undang SPPA, sehingga anak pelaku tetap mendapatkan hak-haknya,
khususnya memperoleh bantuan hukum dalam proses peradilan pidana. Anak pelaku
sempat bercerita bahwa hobinya adalah mendengarkan musik, dan kelak ingin
menjadi komikus. Ia juga mengutarakan kerinduannya dengan suasana di rumah,”
ujar Nahar.
Dalam kunjungannya, Kemen PPPA didampingi oleh Dirjen
Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial dan Ketua Lembaga Perlindungan Anak
Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto.
Nahar menambahkan NF memang harus mengikuti proses hukum sembari
mendapatkan pendampingan khusus untuk memulihkan kondisi psikologisnya yang
selain sebagai pelaku, namun juga diduga sebagai korban kekerasan seksual. Hal penting
lain adalah memikirkan masa depan dan proses reintegrasi anak berhadapan dengan
hukum ke lingkungan sosialnya dan dapat diterima oleh masyarakat.
Nahar juga mengingatkan agar identitas terkait anak, baik
sebagai pelaku maupun sebagai korban wajib dirahasiakan untuk mmenghindari
stigma sosial yang dapat menghambat tumbuh kembang dan masa depan anak.
“Sesuai Undang-Undang no. 11 tahun 2021 tentang SPPA,
khususnya Pasal 19, kami mengimbau agar identitas anak yang berhadapan dengan
hukum wajib dirahasiakan, khususnya dalam pemberitaan di media cetak ataupun
elektronik. Hal tersebut dilakukan agar proses hukum dapat berjalan tanpa
intervensi, serta proses pemulihan, rehabilitasi, dan integrase anak dapat
dilakukan secara optimal,” tutup Nahar.
(Editor: Melina Nurul Khofifah)
0 Komentar