KomnasAnak.com, NASIONAL - Pengamat pendidikan dari Center of Education Regulations and
Development Analysis (CERDAS) Indra Chairsmiadji menilai target pendidikan
untuk membangun sumber daya manusia unggul di Indonesia dinilai terlalu rendah.
Indra mengatakan seharusnya masa pandemi COVID-19 dapat
dijadikan momen pemerintah memetakan masalah pendidikan.
Presiden Joko Widodo sendiri telah menunjuk Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk memetakan pembangunan SDM unggul
dalam ranah pendidikan semenjak menjabat.
“Mengamati target yang ditentukan pemerintah, jelas-jelas
belum bisa dikatakan unggul karena targetnya sendiri masih berada di bawah
rata-rata negara OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) di tahun
2018,” ujar Indra melansir dari CNNIndonesia.com, Senin (11/5).
Ungkapan tersebut mengacu pada target Program Penilaian
Pelajar Internasional atau PISA Indonesia pada periode 2020 sampai 2035. PISA
merupakan penilaian tingkat dunia yang dipakai untuk mengukur tingkat
pendidikan global.
Rinciannya pemerintah menargetkan tahun 2020 sampai 2025
angka PISA Indonesia mencapai 396 untuk literasi, 288 untuk numerasi, dan 402
untuk sains.
Kemudian di tahun 2025 sampai 2030, angka PISA yang
ditargetkan adalah 423 untuk liiterasi, 397 untuk numerasi, dan 408 untuk
sains. Selanjutnya tahun 2030 sampai 2035, nilai PISA diharapkan mencapai 451
untuk literasi, 407 untuk numerasi, dan 414 untuk sains.
Sedangkan mengacu pada PISA 2018, nilai rata-rata negara
OECD adalah 487 untuk literasi, 489 untuk numerasi, dan 489 untuk sains.
Artinya masih di atas target Indonesia hingga tahun 2035.
“Unggul artinya lebih tinggi daripada yang lain-lain, utama.
Jika pemerintah mencanangkan program pemangunan SDM unggul, maka SDM Indonesia
harus lebih pandai, lebih cakap. Lebih baik daripada SDM di negara-negara
lain,” tutur Indra.
Mengintip nilai skor PISA Indonesia 2018, Indonesia memegang
peringkat ke 74 dari 79 negara di dunia. Dengan nilai 371 untuk literasi, 379
untuk numerasi, dan 396 untuk sains.
Bahkan Indonesia masih jauh tertinggal bila dibandingkan
dengan negara Asia seperti Vietnam, khususnya pada kemampuan membaca. Menurut
data World Bank 2018, setidaknya 55,8 persen anak Indonesia memiliki kemampuan
baca terendah, atau level satu. Sedangkan anak dengan kemampuan baca terendah
di Vietnam hanya 13,9 persen, dan negara OECD sebanyak 20,1 persen anak. Indra
mengatakan ini menunjukkan lemahnya kemampuan belajar siswa Indonesia karena
tidak mampu membaca dan memahami maknanya.
Untuk itu dia menilai pembenahan pendidikan di tingkat dasar
harus jadi prioritas. Ini termasuk dari segi kemampuan pendidik, sarana
prasarana, program dan anggaran.
Secara terpisah, tokoh pendidikan Arief Rachman menilai hal
yang penting diperhatikan dalam pendidikan bukan hanya hasil akhir. Namun juga
proses belajar siswa secara formal maupun informal.
Dalam hal ini dia mengatakan banyak potensi yang perlu
dimiliki seorang siswa. Mulai dari spiritual, akal, jasmani, perasaan, dan
sosial. Artinya, selain memberikan target kognitif atau kemampuan akal, ia
menilai seklah tidak boleh menelantarkan aspek afektif yakni sikap dan nilai.
“Mengapa afektif penting? Karena mengantarkan pengetahuan
kognitif. Anak yang kognitifnya cerdas tapi afektif tidak baik, bisa kurang
ajar,” tuturnya melalui konferensi video.
Arief mengatakan dalam hal ini ada kaitan erat antara peran
guru, siswa, maupun orang tua dengan lajur pendidikan. Untuk itu guru dan orang
tua harus cakap dalam membimbing siswa.
Ini termasuk memperhatikan suasana hati siswa ketika
belajar, khususnya di tengah wabah dengan proses pembelajaran jarak jauh (PJJ).
“Karena (kemampuan) belajar tidak akan muncul kalau tidak
senang hatinya. Otak ini tertutup. Menurut ilmu otak, orang yang senang
sel-selnya terbuka dan bisa aktif. Sel ini tidak bisa berjalan sendiri. Harus
dikendalikan hati nurani,” jelas Arief.
Dia menilai proses PJJ harus slalu dievaluasi dalam situasi
pandemi. Ini dilakukan untuk memastikan seberapa jauh perbedaan capaian
pendidikan karena dampak corona.
Seperti diketahui pelaksanaan PJJ masih banyak meenemui
kendala, baik itu fasilitas perangkat dan jaringan ataupun metode belajar. Tak
hanya itu, PJJ juga menciptakan kesenjangan atau ketertinggalan pendidikan yang
harus dihindari dengan memaksimalkan fasilitas pendukung, pelatihan guru, dan
kerangka evaluasi belajar selama pandemi.
(Editor: Melina Nurul Khofifah)
0 Komentar