KomnasAnak.com, NASIONAL - Amoye Pekey, salah satu aktivis dan pekerja sosial yang menangani
anak jalanan di Kota Jayapura menilai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun
2017 tentang percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua
Barat belum memerhatikan masalah anak, terutama tentang perlindungan anak dan
data terkait anak.(Foto: ANTARANews)
Amoye mengatakan Inpres tersebut sangat baik tapi belum
efektif mendefinisikan masalah anak khusus di Papua. Sistem perlindungan anak,
kata dia, sebenarnya lebih pada upaya pencegahan dan promosi terkait pemenuhan
hak anak.
“Hak anak ini menyangkut hak hidup, hak tumbuh kembang anak,
hak partisipatif anak. Dalam upaya itu ada upaya pencegahan dan promosi, yang
menjadi hambatan sekarang sistem perlindungan anak,” ujar Amoye melansir
ANTARA, Kamis (6/8).
Dia mengungkapkan bahwa sistem perlindungan anak harus
dimulai dari bagaimana pengawasan orangtua, kemudian menjadi pengawasan
pemerintah ketika lepas dari pengawasan orangtua.
“Kemudian yang paling tinggi di atas itu adalah negara,
lebih banyak memberikan proteksi-proteksi terhadap kebijakan-kebijakan
peraturan-peraturan pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak,”
ujar Amoye.
Selain itu, dia juga menyoroti pemerintah daerah yang belum
memiliki data untuk menampung anak-anak, pengklasifikasian anak, dan jumlah anak
yang mengalami kekerasan.
Menurut Amoye, selama ini Inpres Presiden Nomor 9 tahun 2017
belum efektif karena belum bisa mendefinisikan masalah anak dari konteks
lokalnya.
“Bagaimana mau mendefinisikan anak dari konteks lokal kalau
kita belum mempunyai data masalah anak ituseperti apa, sehingga konteks
definisi eksploitasi anak yang ada di Papua dengan yang pada umumnya di luar,
pasti akan berbeda konsepsinya,” ujar dia.
“Pendefinisian anak itu harus dikontekstualisasi dengan
konteks lokal. Sekarang itu belum ada, itu masaah, jadi kita mau tangani, kita
lihat masalah anak seperti ini, kita sudah tahu masalahnya apa, itu kan
berhubungan informasi data yang kita dapati, datanya belum ada,” sambungnya.
Amoye mengatakan data dari lembaga bersangkutan yang
menangani masalah anak, tidak terintegrasi dengan baik. Misalnya, BNPB yang
mengawal kasus narkoba tidak berhubungan dengan Badan Pemberdayaan Perempuan
dan Anak sehingga pelayanan tidak bisa tuntas. Pelayanan pada anak pun tidak
terkoordinasi.
Masalah juga ada di pengklasifikasian data. Belum ada
klasifikasi berdasarkan kekerasan fisik maupun psikis, serta eksploitasi seksual
atau ekonomi, dan penelantaran anak.
Dia menambahkan, belum ada penyediaan pelayanan perlindungan
anak dan belum ada peraturan daerah terkait perlindungan anak di Papua.
“Kalau Inpres berarti minimal ada peraturan bupati/wali kota
di kabupaten/kota tentang perlindungan anak,” katanya.
0 Komentar