KomnasAnak.com, NASIONAL - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia bidang
pendidikan, Retno Listyarti, membuat surat terbuka yang ditujukan kepada Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.Komisioner KPAI bidang pendidikan (Retno Listyarti) (Foto: Tagar)
“Saya menulis surta terbuka ini sebagai seorang ibu yang
merupakan Warga Negara Indonesia,” kata Retno dalam surat terbukanya melansir
Tempo, Sabtu (1/8).
Dalam surat tersebut Retno mempertanyakan pernyataan Nadiem
tentang sekolah negeri diperuntukkan bagi siswa dengan tingkat ekonomi rendah
atau keluarga miskin.
Pendirian sekolah negeri, menurut Retno, adalah wujud
pemenuhan hak atas pendidikan sebagai hak dasar. Sehingga semua anak Indonesia
berhak menikmati pendidikan di sekolah negeri tanpa memandang status ekonomi.
“Pernyataan bahwa sekolah negeri seharusnya diperuntukkan
bagi siswa dengan tingkat ekonomi rendah adalah pernyataan yang tidak tepat,”
ujar Retno.
Dia menyebut Nadiem terkesan menganggap sekolah negeri tidak
sejajar dengan sekolah swasta papan atas berbayar mahal, seperti CIKAL, Al
Izhar, Al Azhar, Penabur, dan lainnya.
Selanjutnya, Retno mengkritik alasan Nadiem menurunkan jalur
zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 dari 80 persen menjadi
50 persen.
Dasar kebijakan PPDB sistem zonasi adalah mencegah
pendidikan menjadi pasar bebas. Sehingga, seluruh anak Indonesia apapun latar
belakang ekonomi keluarganya, pintar atau tidak, berkebutuhan khusus atau
tidak, berhak belajar di sekolah negeri, asalkan rumahnya dekat dengan sekolah
yang dituju.
Pada pelaksanaan PPDB zonasi 2019, Mendikbud sebelumnya,
Muhadjir Effendy, menetapkan jalur zonasi 80 persen. Namun, di era Nadiem turun
drastic menjadi 50 persen. Menurut Retno, kebijakan itu bertentangan dengan
keadilan sosial yang pernah disinggung Nadiem.
Terakhir, Retno mempertanyakan sikap Nadiem yang tak berdaya
mengatasi persoalan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
“Tidak terlihat langkah-langkah konkrit Kemdikbud mengatasi
berbagai kendala PJJ,” kata dia.
Selama berbulan-bulan, kata Retno, tidak ada terobosan
apapun dalam PJJ di fase kedua. Data survei PJJ fase 1 yang dilakukan KPAI
paada April 2020 dan diikuti 1700 siswa, menunjukkan 76,7 persen responden
siswa tidak senang belajar dari rumah.
Retno merinci, 37,1 persen siswa mengeluhkan waktu pelajaran
yang sempit sehingga memicu kelelahan dan stres, 42 persen siswa kesulitan
belajar daring karena orangtua tidak mampu membeli kuota internet, dan 15,6
persen siswa kesulitan daring karena tidak memiliki ponsel, computer, maupun
laptop.
“Berdasarkan survei KPAI, PJJ menunjukkan kesenjangan yang
lebar dalam akses digital di kalangan peserta didik,” ujar Retno. Bagi anak
dari keluarga miskin, kondisi PJJ membuat anak menjadi kehilangan semangat
untuk melanjutkan sekolah.
Dalam surat terbukanya, Retno mendorong Nadiem membatalkan
program organisasi penggerak (POP) dan mengalihkan anggarannya untuk mengatasi
kendala PJJ.
Selain itu, Anggaran sebesar Rp 595 miliar itu dapat
digunakan untuk menggratiskan internet, bantuan gawai bagi anak miskin dan guru
honorer.
Nadiem juga diminta menyelesaikan kurikulum pendidikan dalam
situasi darurat “kurikulum adaptif”, berkoordinasi dengan Kementerian Desa
terkait penggunaan dana desa untuk membantu anak-anak melakukan PJJ di balai-balai
desa dengan fasilitas wifi dan computer milik desa.
“Saya menunggu gebrakan Anda bagi kepentingan terbaik untuk
anak-anak Indonesia. Sukses dan sehat selalu,” pungkas Retno.
0 Komentar