“Makanya banyak riset tentang academic adjustment atau adaptasi di bidang akademik itu di tahun pertama. Jadi
kalau masih 1-6 bulan, ya kondisi anak masih up and down,” ujar Efnie dalam keterangan persnya, Kamis (13/8).
Dia menuturkan bahwa anak menjadi tidak tertib dan lebih
banyak memgang gadget. Selain itu emosi anak menjadi tidak terkontrol dan moody tidak mau mengikuti kelas online.
Menurut Efnie, stres dan rasa frustasi juga wajar dialami
orangtua. Sebab, orangtua selalu berpikir tanggungjawabnya untuk memastikan
anak mengerjakan, memperhatikan, dan menerima informasi dengan baik.
“Biasanya kondisi itu yang membuat orangtua menjadi stres,”
kata Efnie.
Dia memberikan beberapa usulan untuk mengatasi stres
orangtua. Pertama, orangtua harus mampu mengenali kondisi emosi sendiri. Apakah
merasa kesal, marah, kecewa, atau lainnya. Barulah orangtua dapat meregulasi
emosinya dengan tepat.
Bagi ibu bekerja, mengerjakan tugas kantor dari rumah
sekaligus mengasuh anak akan menjadi tantangan tersendiri. Efnie menyarankan
agar ibu dapat memanajemen waktunya dengan baik. Buatlah jadwal harian dan
masukkan waktu untuk diri sendiri. Dengan begitu, kondisi mental tetap stabil
dan tercipta suasana penuh cinta di rumah.
Sementara itu, menurut Efnie, stres pada anak masih bisa
ditoleransi selama masih di level moderat atau medium. Namun, stres level
tinggi dapat berdampak negatif bagi anak. Misalnya penurunan sistem imun
sehingga mudah sakit seperti batuk pilek, perut tidak nyaman, mual, dan diare.
“Terkadang konsentrasi anak juga akan menurun, bermimpi
buruk, lebih emosional dan rewel, serta gampang menangis,” ujarnya.
“Kalau anak stresnya tinggi, bantu ia untuk meredakan
kondisi perasaannya dulu. Anak yang stres tidak mempan dikasih nasihat. Ciri khas
seorang anak kalau stres tinggi adalah akan melakukan hal yang berkebalikan. Disuruh
fokus, dia malah melakukan hal lain, disuruh menulis tidak bisa, kadang-kadang
disuruh bicara malah menjadi gagap,” lanjut Efnie.
Di saat seperti ini, penting bagi orangtua untuk memberinya
waktu, bukan malah memarahinya. Jauhi anak sebentar untuk mengatur napas dan
emosi.
Setelah itu dekati anak-anak dengan perasaan tenang dan
bujuk agar anak mau menceritakan emosinya satu per satu. Tujuannya, sebut
Efnie, agar anak merasa senyaman mungkin.
“Love dan affection adalah obat stres untuk
anak-anak. Jadi, ia tidak merasa sendiri, merasa didampingi, dan bisa
mengekspresikan perasaannya semaksimal mungkin,” katanya.
Dia berujar bahwa masa serba terbatas ini orangtua harus
bekerjasama dengan berbagai pihak agar kegiatan belajar anak tetap belajar. Yang
pasti, orangtua harus menanamkan mindset
untuk tidak langsung menghakimi ketika anak susah diajak belajar. Perlu
diingat, anak butuh waktu dan proses untuk bisa beradaptasi dengan perubahan.
(Editor: Melina Nurul Khofifah)
0 Komentar