KomnasAnak.com, NASIONAL - Survei terhadap perokok anak yang diselenggarakan pegiat perlindungan anak bersama Yayasan Arek Lintang (ALIT) Indonesia menunjukkan bahwa terjangkaunya harga rokok memicu peningkatan jumlah perkok di Indonesia.
“Kami melihat dari beberapa wilayah dampingan ALIT, banyak
sekali anak-anak yang sudah merokok di saat tubuhnya belum mampu menerima
paparan zat atau kandungan berbahaya dari rokok,” ujar Lisa Febriyanti, Tim
Baseline Survei Yayasan ALIT Indonesia, dalam pernyataannya, Selasa (29/8).
Dari 506 responden dari lima wilayah survei di Jawa Timur,
sebanyak 87 persen perokok anak memiliki anggota keluarga yang juga merokok. Selain
itu, sebanyak 85 persen anak pernah diminta atau disuruh orang dewasa untuk
membeli rokok.
“Yang memprihatinkan adalah 87 persen dari anak mengaku
sebagai perokok aktif atau merokok sudah menjadi keseharian mereka, dan
sebagian besar dari mereka sudah mulai merokok di usia 13-14 tahun,” ujar Lisa.
Tim survei juga menemukan adanya anak yang telah merokok
sejak usia 5 tahun.
Ada 79 persen perokok anak membeli sendiri rokoknya, dan 72
persen penjual rokok membiarkan anak-anak membeli rokok. Rata-rata perokok anak
menggunakan sebagian uang sakunya untuk membeli rokok.
“Harga rokok yang dibeli anak bervariasi, dari pernyataan
responden dan dibandingkan dengan harga pada pita cukai, terdapat beberapa
merek yang didapatkan anak-anak secara lebih murah. Temuan kami, ada anak-anak
yang mendapatkan rokok lebih murah dibandingkan harga yang dibanderol,” jelas
Lisa.
Mengenai hal ini, ALIT Indonesia menyoroti peraturan
peerintah mengenai cukai rokok dan kaitannya dengan jangkauan anak-anak.
“Saat ini ada kenaikan cukai, tapi kemudian kami juga
melihat ada aturan yag absurd yakni Perdirjen Bea Cukai 37/2017 yang
membolehkan menjual rokok di bawah 85 persen dari banderol asal tidak lebih di
40 kota pengawasan bea cukai,” katanya.
Hal tersebut disorot karena
bisa dipastikan akan ada harga rokok lebih murah dari yang tertera di
pita cukai.
Direktur Eksekutif Yayasan ALIT Indonesia Yuliati Umrah
mengatakan pihaknya secara tegas berharap agar pemerintah mencabut segala
aturan yang masih memungkinkan rokok dijual lebih murah lagi.
“Saya setuju kalau ketentuan tersebut dihapus saja. Harga rokok
sudah terlalu murah kalau diperbolehkan dijual di bawah 85 persen. Anak pasti
bisa beli dengan uang sakunya,” ujar Yuliati.
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Politik Masalah Pemerintahan
dari Universitas Airlangga (Unair) Kris Nugroho menduga masih terdapat celah
dari penegakan regulasi.
“Perusahan rokok bisa bermain untuk memanfaatkan kelemahan
suatu produk hukum. Yang bisa kita cermati di sini adalah aturan itu sudah
termasuk keputusan ekonomi politik yang merupakan titik temu berbagai
kepentingan bisnis rokok dengan kementerian,” papar Kris.
(Editor: DM)
0 Komentar