Wacana pengaturan dan penegakan hukum seberat mungkin bagi
pelaku kekerasan fisik maupun seksual pada anak pun mencuat dalam rapat lintas
Komisi DPR Aceh bersama unsur sektoral terkait. Hukuman berat ini nantinya tidak
sebatas hukuman cambuk
“Insyaallah kami akan bentuk tim kecil dari berbagai unsur
untuk mencari solusi bagaimana dalam waktu singkat pelaku kekerasan terhadap
perempuan dan anak mendapatkan hukuman seberat-beratnya,” kata Ketua Komisi I
DPRA Muhamad Yunus.
Yunus mengatakan wacana hukuman tersebut dibahas kembali
karena marak terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh. Alhasil, tim
kecil dibentuk untuk membahas tindak lanjut pertemuan tersebut.
Sejauh ini, kata Yunus, pelaku kekerasan lebih banyak
dijerat dengan hukum cambuk sesuai qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Jinayah. Sayangnya, peraturan ini belum diiringi dengan Peraturan Gubernur.
“Sebenarnya dalam qanun jinayah sudah sangat lengkap, hanya
saja belum diiringi dengan Peraturan Gubernur, karena untuk menjalankan qanun
jinayah ini harus ada Pergub,” ujarnya.
Yunus berharap eksekutif mampu segera mengeluarkan Pergub
sehingga pelaku kekerasan dapat dihukum berat mulai dari cambuk, penjara,
hingga membayar denda.
“Sebenarnya dalam qanun jinayah penjaranya lebih lama daripada
UU Perlindungan Anak. Namun, belum diiringi Pergub, makanya sekarang ini banyak
pelaku dihukum cambuk,” kata dia.
Selain itu, Yunus mengatakan tim kecil yang segera dibentuk
juga akan mengadvokasi korban kekerasan mapun pelecehan seksual untuk
mendapatkan pemulihan trauma.
“Karena saat ini yang ada hanya bantuan dari Dinas Sosial Aceh,
dan itu juga sangat terbatas. Makanya perlu pemulihan psikologi korban,” ujar
Yunus.
Wacana ini pun didukung oleh Psikolog anak, Endang
Setiangsih, utamanya bagi upaya menjamin perlindungan bagi anak. Menurutnya, sudah saatnya Aceh bergerak melindungi anak dan menghukum
pelaku kekerasan dan kejahatan seksual secara maksimal.
“Sudah seharusnya hukuman buat pelaku kekerasan seksual
terhadap anak diperberat sanksi pidana dan ditambah cambuk serta membayar denda
maksimal,” kata Endang, di Banda Aceh, Selasa (27/10).
Menurut Endang, kekerasan seksual terhadap anak dalam
berbagai bentuk merupakan bentuk kejahatan kesusilaan yang sangat serius. Karena
itu, negara dan pemerintah wajib turun tangan melakukan terobosan perlindngan
serta penegakan hukum yang mengutamakan kepentingan terbaik anak.
Endang mengatakan, pemerintah Aceh dan legislatif mulai menunjukkan
keseriusannya menangani kejahatan seksual terhadap anak dengan menjamin hak
anak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta melindungi anak dari
kekerasan hingga diskriminasi, sesuai dengan UU Perlindungan Anak.
“Kekerasan seksual terhadap anak juga merupakan suatu gejala
gunung es, dimana jumlah kasus di masyarakat jauh lebih besar dari yang
dilaporkan,” kata Endang.
Menurutnya, kekerasan seksual terhadap anak berkonsekuensi negatif
pada kesehatan, psikologis, dan sosial anak yang menjadi korban dan pemulihan
traumanya membutuhkan waktu lama.
“Bahkan selama ini saya mendampingi korban belum pernah
melihat gati rugi yang dberikan dan dihitung oleh pengambil kebijakan karena
hukum di negara kita ini belum memiliki sepenuhnya keberpihakan pada korban,”
ujarnya.
Menurut Endang, penerapan hukum jinayat belum efektif
sehingga layak untuk dilakukan perubahan.
“Sudah dapat direvisi karena dianggap kurang efektif dalam
menekan angka kekerasan seksual terhadap anak, qanun belum mampu memberi efek
jera bagi pelaku. Hasil riset juga menunjukkan kurang efektifnya penerapan
tindakan cambuk pada pelaku,” kata Endang.
(Editor: Melina)
0 Komentar