KomnasAnak.com, NASIONAL - Pandemi telah membawa masyarakat dunia masuk ke dalam mimpi buruk yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Mulai dari pukulan besar bagi bidang kesehatan, kemunduran ekonomi, serta pendidikan. Anak-anak pun tidak dapat dikecualikan dalam membahas dampak pandemi.
Meskipun sering tidak tampak di permukaan, namun dampak
pandemi bagi anak adalah yang paling parah. Begitupun bagi negara, sebab
penurunan kualitas anak juga menjadi tanda akan mundurnya suatu bangsa.
Anak-anak secara keseluruhan berpotensi mengalami kemiskinan
multidimensi, yaitu kemiskinan yang menyeluruh pada semua sektor, seperti
pendidikan, kesehatan, serta sosial ekonomi. Untuk itu, negara wajib untuk
hadir menyelesaikan masalah anak selama pandemi
Pendidikan Tak Lagi
Menjadi Fokus Utama
Sempat menjadi bahan pembicaraan utama pemerintah pada 5
bulan pertama pandemi COVID-19 di Indonesia, isu pendidikan anak kini tidak
lagi dibicarakan para petinggi negara. Pemerintah sekarang sedang sibuk
mempersiapkan diri menghadapi jurang resesi dan mengurus kepentingan politik
lainnya.
Padahal perlu kami ingatkan kembali, bahkan sebelum pandemi
pendidikan Indonesia sudah tidak begitu baik. berdasarkan data Organisasi untuk
Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), peringkat nilai PISA (Program for
International Student Assessment) Indonesia pada tahun 2018 adalah: membaca
(peringkat 72 dari 77 negara), matematika (peringkat 72 dari 78 negara) dan Sains
(peringkat 70 dari 78 negara).
Bukan tidak mungkin pendidikan Indonesia akan semakin
terpuruk akibat pandemi. Namun sayangnya,
pembicaraan mengenai pendidikan anak sepertinya telah selesai setelah adanya
subsidi kuota internet gratis bagi siswa dan guru. Padahal, kuota bukan penentu
kemajuan pendidikan suatu bangsa.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah menyarankan
penggratisan kuota sebagai langkah paling dekat untuk mengatasi permasalahan
pembelajaran daring. Tapi permasalahan pendidikan tidak akan selesai hanya dengan
membagikan kuota gratis.
Indonesia adalah negara luas dengan banyak pulau dan banyak
dinamika. Salah satu masalah dari bangsa Indonesia adalah ketimpangan antara
pulau Jawa dan pulau lain, serta antara daerah perkotaan dan pedesaan. Akses internet
akan sangat terkendala di daerah pedesaan dan daerah terpencil lainnya. Akibatnya,
anak-anak terkadang harus menempuh jalan tidak normal, seperti menembus hutan,
bahkan menaiki pohon untuk mendapatkan sinyal.
Memang benar bila anak-anak sekarang lebih mampu beradaptasi
dengan sistem pendidikan. Tapi itu bukan berarti kurikulum tetap harus dikejar
sampai mengesampingkan pemahaman siswa. Di banyak sekolah, guru masih saja
menerapkan sistem tugas. Setiap harinya, siswa akan dibebankan tugas berlembar-lembar
kertas untuk setiap mata pelajaran. Setelah selesai mengerjakan, siswa
diwajibkan mengirimkan foto tugas tersebut dan harus mengirimkan tugas ke
sekolah setiap akhir minggu.
Menyoal Maraknya Kekerasan
pada Anak
Pendidikan pun menjadi hal yang menantang, bukan hanya bagi
siswa, tapi juga orangtua yang mendampingi. Di saat anak merasa stres karena
tidak mampu memahami pelajarannya, orangtua juga merasa stres karena di saat
yang sama harus mengajari anaknya dan mengurus urusan rumah tangga.
Telah banyak kejadian orangtua melakukan kekerasan mulai
dari kekerasan verbal seperti membentak dan memaki, hingga kekerasan fisik
seperti mencubit, menampar, bahkan memukul anak.
Pembelajaran daring juga telah memakan korban. Kejadian tersebut
menimpa bocahh malang berusia 8 tahun yang dianiaya ibunya sendiri akibat tidak
kunjung paham saat diajari. Emosi akibat anaknya yang masih kelas 1 SD, ibu
korban (IS) menganiayanya dengan mencubit, memukul dengan tangan kosong, sampai
memukul kepala korban menggunakan sapu sebanyak 3 kali hingga korban lemas. Akibat
panik, akhirnya sang ibu bersama ayah korban mengajaknya mencari udara segar
menaiki motor. Nahasnya, korban meninggal di tengah perjalanan. Karena panik,
keduanya lantas menguburkan korban lengkap dengan pakaiannya.
Tingkat kekerasan yang dialami anakpun tergolong tinggi. Berdasarkan
data SIMFONI Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
kekerasan yang dialami anak rentan usia 0-17 tahun sepanjang tahun 2020
mencapai 7.008 kasus. Dengan rincian kasus pada anak usia 0-5 tahun sebanyak
790 kasus, usia 6-12 tahun mencapai 2.149, dan usia 13-17 tahun mencapai 4.069
kasus.
Di masa pandemi saat semua orang dilarang bepergian,
kekerasan seksual pun rentan dilakukan oleh orang terdekat. Selain itu, gawai
dan media sosial pun telah berubah menjadi sarang kekerasan seksual. Menurut laporan
yang didapat Komnas Perlindungan Anak (PA), terjadi sebanyak 1600 kasus
kekerasan seksual, dan 52 persennya terjadi melalui media sosial. Sedangkan sebanyak
20 persen kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat.
Gelombang Besar
Pernikahan Dini
Fenomena pernikahan dini selama pandemi terjadi di hampir
semua negara yang mengalami pandemi. Di Indonesia sendiri, dari Januari hingga
Juni, tercatat ada 34.000 permohonan dispensasi menikah.
Berdasarkan rilis katadata.co.id, pernikahan dini terjadi
diakibatkan beberapa faktor, seperti: persoalan ekonomi keluarga, minimnya
edukasi terkait pernikahan dini, minimnya aktivitas akibat penutupan sekolah,
mematuhi norma agama, sosial dan budaya setempat, serta menghindari kehamilan
di luar nikah.
Tekanan ekonomi dan rendahnya edukasi membuat banyak
keluarga menganggap bahwa setelah menikahkan anak mereka, beban ekonomi akan
berkurang. Hal ini karena mereka beranggapan bahwa anak akan mencari pekerjaan sendiri
dan anak tidak akan menjadi beban tanggungan orangtua.
Di daerah NTB, Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi LPA
NTB, Joko Jumadi menuturkan, salah satu dampak pandemi adalah bertambahnya
angka pernikahan dini. Berdasarkan data yang dihimpun dari Pengadilan Agama
dari Januari 2020 hingga 8 September lalu, terdapat 522 anak di bawah umur yang
mengajukan dispensasi untuk menikah secara resmi.
Sementara itu, di Jawa Timur memiliki angka dispensasi nikah
mencapai ribuan. Di Jember misalnya, jumlah permohonan dispensasi nikah yang
masuk ke Pengadilan Agama Jember dari Januari hingga Agustus 2020 telah
mencapai 1.246 kasus. Sedangkan paling banyak terbanyak adalah Surabaya. Mengutip
dari rilis Kominfo Jatim pada 9 Oktober, jumlah dispensasi menikah di Surabaya
mencapai 12.500 kasus.
Mayoritas permohonan dispensasi menikah tersebut dikabulkan
oleh pengadilan dengan alasan demi kebaikan anak, sebab, kebanyakan pemohon
telah hamil di luar nikah.
Semua isu menyangkut anak-anak sudah sepatutnya dibawa oleh
setiap stakeholder, terlebih bagi pemerintahan di setiap tingkat. Sebab menyelamatkan
anak-anak di masa sekarang sama pentingnya dengan menyelamatkan ekonomi dan
negeri. Anak-anak adalah generasi masa depan yang diharapkan mampu memimpin
Indonesia emas 2045. Bila kualitas anak sekarang tidak diperhitungkan, kemungkinan
Indonesia akan mengalami pelambatan kemajuan.
(Penulis: Melina Nurul Khofifah)
0 Komentar