KomnasAnak.com, NASIONAL - Keberadaan psikolog forensik khusus perlindungan anak sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan keberadaan psikolog dalam isu perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) sangat penting.
“Peran psikolog tidak putus, dimulai dari tahap pencegahan
sampai dengan reintegrasi,” kata Pribudiarta dalam webinar yang diselenggarakan
Kemen PPPA, Rabu (4/11).
Dia menuturkan psikolog dapat terlibat langsung dalam upaya
prevensi agar anak tidak berhadapan dengan hukum. Baik anak sebagai pihak yang
berkonflik dengan hukum, anak korban, atau anak saksi.
“Para psikolog dapat berperan dalam berbagai tingkat
pencegahan, dari pencegahan primer sampai dengan tersier melalui intervesi
langsung kepada anak, keluarga, maupun lembaga lainnya yang berkaitan dengan
anak,” ujar Pribudiarta.
Sementara dalam proses pemeriksaan perkara hingga adanya
putusan hakim yang mengikat, psikolog berperan penting dalam rehabilitasi dan
reintegrasi ABH.
Dantaranya seperti pemberian dukungan psikososial, memberi
informasi kepada petugas layanan mengenai keadaan psikologis anak, memberi
kesaksian ahli, sampai merancang internvensi paling sesuai untuk anak.
“Dalam ranah pembuatan kebijakan terkait dengan isu ABH,
para psikolog juga memiliki potensi bessar memberikan kontribusi nyata,” kata
dia.
Psikolog dapat sangat membantu para pembuatan kebijakan untuk
membuat kebijakan ramah anak yang dapat mendorong perkembangan psikologis anak
secara maksimal ke arah positif.
“Tentunya berbagai peran (psikolog) tersebut sangat penting
bagi masa depan anak,” jelas Pribudiarta.
Berdasarkan data Badan PPSDM Kesehatan Kemenkes pada laporan
SPPA tahun 2019, jumlah psikolog klinis yang dapat melakukan pemeriksaan
psikologis kepada ABH di seluruh Indonesia hanya berjumlah 749 orang.
Sementara jumlah UPTD PPA sudah terbentuk 28 di provinsi dan
81 kabupaten/kota. Pribudiarta menjelaskan, dalam memberi pendampingan mulai
dari proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan maupun pembinaan
setelah putusan pengadilan. Psikolog sering kali juga dituntut mampu memahami
substansi hukum dan peradilan pidana anak.
Tapi tentunya, tidak semua psikolog memiliki pemahaman akan
hal tersebut.
“Oleh karena itu, kebutuhan akan psikolog forensik menjadi
sangat tinggi seiring dengan meningkatnya jumlah kasus ABH,” ujar Pribudiarta.
Untuk meningkatkan pelayanan psikososial, baik dalam
pencegahan maupun penanganan ABH, besar harapannya HIMPSI (Himpunan Psikolog
Seluruh Indonesia) dan APSIFOR dapat membantu dalam memberikan peningkatan
kapasitas bagi para psikolog serta petugas layanan UPTD PPA di seluruh
Indonesia.
(Editor: Melina)
0 Komentar